Jaman
berubah, dan cara pandangpun berubah. Pendapat orang berubah. Nilai
seni dan keindahan ikut berubah. Yang dulu dianggap sampah, hari ini
dianggap seni. Dan memang seharusnya seni sebagai bagian dari keindahan
itu nggak punya patokan yang jelas kan? Kecantikan manusia aja
beda-beda, sesuai selera. Seni juga gitu. Seharusnya.
Nggak
heran kalo seni modern itu perlu waktu yang lama untuk berjuang supaya
diterima. Nggak gampang, memang. Para pelukis aliran impresionis dulu
dianggap sebagai pelukis yang sesungguhnya, karena mereka menggambar
sesuai dengan kenyataan, seperti misalnya langit itu harus biru dan
rumput itu harus hijau. Orang dulu nggak bisa nerima hasil karya seni
atau lukisan yang mewarnai pisang dengan warna ungu, misalnya. Itu
dianggap tabu jaman dulu. Tapi ternyata masih ada orang “masa kini” yang berpikiran seperti orang-orang “jaman batu” itu.
Untung lalu ada yang namanya seni modern, atau seni kontemporer. Betapa
beruntungnya kita yang hidup di jaman ini, di mana seni lukis dan seni
patung, juga hasil karya tangan manusia lainnya lebih beragam dan nggak
terpaku pada satu pakem aja.
Tapi jangan salah, masih banyak
kritikus seni yang berpemikiran kuno dan konservatif lho. Mereka
menganggap seni itu sudah mati sejak jaman Renaisans berakhir. Mereka
menganggap seniman yang beraliran kontemporer ini nggak punya skill dan
karyanya nggak indah. Argumen ini nggak kelar-kelar sih sebenernya, dan
sudah ada sejak ratusan yang lalu. Ora uwis-uwis, kalo kata anak
Twitter.
Bagaimanapun, seni adalah kata yang penuh perjuangan –
apalagi kalo ditambah dengan kata “kontemporer” di belakangnya. Seni
bukanlah sesuatu yang pasif dan semua imajinasi orang seharusnya
dihargai. Seni, seperti juga filosofi atau hal-hal yang berhubungan
dengan pemikiran mendalam, harus diterima dengan pemikiran yang terbuka
dan nggak sempit.
Seni pada suatu masa adalah definisi dari
keadaan di masa itu. Kalo ada yang merasa nggak nyaman dengan suatu
karya seni, bisa jadi karena orang itu masih (ingin) hidup di masa lalu.
Analogi ekstrimnya bisa dengan agama. Analogi nggak ekstrimnya mungkin
bisa seperti ini: Kalo orang (Indonesia) jaman dulu harus makan nasi
untuk kenyang dan alatnya harus sendok dan garpu, jaman sekarang orang
makan siang di gerai fast food pake garpu dan pisau, dan nasinya diganti
kentang juga nggak masalah kan? Yang penting sama-sama makanan, dan
bikin kenyang.
Di dunia ini banyak hal yang bukan cuma
ditoleransi, tapi harus ada yang namanya kompromi. Jaman sudah maju.
Kalo ada orang-orang yang menolak untuk maju, mungkin sebaiknya mereka
balik ke jaman dulu. Kalo mereka bisa, tentunya.
0 komentar:
Posting Komentar