Kamis, 22 Agustus 2013

seni kontemporer

Jaman berubah, dan cara pandangpun berubah. Pendapat orang berubah. Nilai seni dan keindahan ikut berubah. Yang dulu dianggap sampah, hari ini dianggap seni. Dan memang seharusnya seni sebagai bagian dari keindahan itu nggak punya patokan yang jelas kan? Kecantikan manusia aja beda-beda, sesuai selera. Seni juga gitu. Seharusnya.

Nggak heran kalo seni modern itu perlu waktu yang lama untuk berjuang supaya diterima. Nggak gampang, memang. Para pelukis aliran impresionis dulu dianggap sebagai pelukis yang sesungguhnya, karena mereka menggambar sesuai dengan kenyataan, seperti misalnya langit itu harus biru dan rumput itu harus hijau. Orang dulu nggak bisa nerima hasil karya seni atau lukisan yang mewarnai pisang dengan warna ungu, misalnya. Itu dianggap tabu jaman dulu. Tapi ternyata masih ada orang “masa kini” yang berpikiran seperti orang-orang “jaman batu” itu.

Untung lalu ada yang namanya seni modern, atau seni kontemporer. Betapa beruntungnya kita yang hidup di jaman ini, di mana seni lukis dan seni patung, juga hasil karya tangan manusia lainnya lebih beragam dan nggak terpaku pada satu pakem aja.

Tapi jangan salah, masih banyak kritikus seni yang berpemikiran kuno dan konservatif lho. Mereka menganggap seni itu sudah mati sejak jaman Renaisans berakhir. Mereka menganggap seniman yang beraliran kontemporer ini nggak punya skill dan karyanya nggak indah. Argumen ini nggak kelar-kelar sih sebenernya, dan sudah ada sejak ratusan yang lalu. Ora uwis-uwis, kalo kata anak Twitter.

Bagaimanapun, seni adalah kata yang penuh perjuangan – apalagi kalo ditambah dengan kata “kontemporer” di belakangnya. Seni bukanlah sesuatu yang pasif dan semua imajinasi orang seharusnya dihargai. Seni, seperti juga filosofi atau hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran mendalam, harus diterima dengan pemikiran yang terbuka dan nggak sempit.

Seni pada suatu masa adalah definisi dari keadaan di masa itu. Kalo ada yang merasa nggak nyaman dengan suatu karya seni, bisa jadi karena orang itu masih (ingin) hidup di masa lalu. Analogi ekstrimnya bisa dengan agama. Analogi nggak ekstrimnya mungkin bisa seperti ini: Kalo orang (Indonesia) jaman dulu harus makan nasi untuk kenyang dan alatnya harus sendok dan garpu, jaman sekarang orang makan siang di gerai fast food pake garpu dan pisau, dan nasinya diganti kentang juga nggak masalah kan? Yang penting sama-sama makanan, dan bikin kenyang.

Di dunia ini banyak hal yang bukan cuma ditoleransi, tapi harus ada yang namanya kompromi. Jaman sudah maju. Kalo ada orang-orang yang menolak untuk maju, mungkin sebaiknya mereka balik ke jaman dulu. Kalo mereka bisa, tentunya.

sumber : http://kopikeliling.com/news/seni-kontemporer-susah-diterima.html

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 dinART (dinar's ART) ^_^