Rabu, 21 Desember 2016

iswandi syahputra = Nyinyirisme Dan Penyebab Toleransi Salah Kaprah

Kalau ormas Islam saat ini agak agresif, mungkin karena selama ini sebagai mayoritas mereka merasa ditindas oleh minoritas. SaatNatal, karyawan muslim dipaksa pakai topiSinterklas, mereka nurut. Tapi giliran bulan puasa, warung tetap buka, mereka diam. Azan digugat, masih diam. Mesjid digusur dan dibakar, mereka sabar. Ulamanya dihina, mereka pasrah.
.
.

Sepertinya memang ada yang keliru dalam cara kita memahami toleransi yang berat sebelah. Toleransi salah kaprah. Toleransi dipahami sebagai mayoritas harus mengalah pada minoritas. Sedangkan minoritas merasa punya hak meminta pemahaman dan pengertian dari mayoritas.
.
.

Prinsip mayoritas melindungi minoritas dan minoritas menghormati mayoritas semakin tidak jelas. Di Eropa muslim minoritas, apa pernah perlakuan mayoritas di sana seperti mayoritas di Indonesia memperlakukan minoritas? Bisa berbeda, dan perlu studi lebih lanjut. Tapi pengalaman saya, dan sejumlah kolega di Eropa, untuk pakai jilbab saja ada masih ada rasa was-was.
.
.

Menurut saya, formala toleransi mayoritas harus mengalah pada minoritas dan minoritas merasa punya hak meminta pemahaman dan pengertian dari mayoritas, ini menjadi salah satu sumber pemicu anarkisme atas nama agama. Negara juga sepertinya tidak sigap memediasi malah mengambil posisi kontra strategis bahkan cenderung berpihak.
.
.

Dalam kasus topi Sinterklas misalnya, apa tidak bisa negara memediasi pertemuan antara ulama, pengusaha yang memaksa karyawan gunakan topi Sinterklas untuk mencari titik temu yang bijak? Pemaksaan dilarang, tapi bagi yang rela dipersilahkan, ini jauh lebih indah dan mematuhi prinsip toleransi.
.
.

Kita ini bangsa apa sebenarnya? Melihat kebuntuan tersebut malah sibuk mencari celah untuk menemukan kesalahan. Setelah ketemu ada celah kesalahan, disusul dengan membully bukan menengahi. Ada kesempatan sedikit saja yang dianggap kesalahan, langsung dibully. Hingga tiang listrik dan tiang jemuran dibawa-bawa sebagai alat membuli karena mirip dengan simbol salib, misalnya.
.
.

Kita lupa, bahwa agama itu jalan sepi, jalan sunyi, jalan penuh penghayatan pribadi. Orang yang seiman saja belum tentu memiliki penghayatan yang sama. Yang terlihat sama hanya dimensi sosial dan ibadahnya, bukan penghayatannya.
.
.
.

Mungkin bagi sebagian umat muslim menghayati simbol agama sedemikian sensitif karena konsumsi ajaran dan penghayatannya. Jika iya demikian, lantas apa salahnya? Karena begitulah penghayatannya pada simbol keagamaan. Tidak ada yang bisa melarangnya kecuali penghayatan itu teraktualisasi menjadi caci maki atau merusak segala simbol agama sebagai sebuah penghinaan.
.
.
.

Anda pernah jalan ke pantai di Bali? Pasti banyak melihat para bule berjemur bukan? Jika Anda kurang beruntung, akan ketemu wanita bule yang berjemur bertelanjang dada. Karena melihatnya, Anda kemudian menghayatinya diam-diam, sambil membayangkan banyak hal kenikmatan. Siapa yang bisa melarang? Beda halnya jika Anda mendatangi wanita bule yang sedang berjemur itu, kemudian mencaci makinya atau memukulnya bahkan mungkin memperkosanya, itu sudah masuk pelanggaran dan menjadi musuh kita bersama.
.
.
.

Terkadang, orang dungu yang banyak bicara apalagi dilandasi kebencian, bisa lebih berbahaya dari seorang politisi pendusta. Karena orang dungu bisa lebih dipercaya daripada seorang pendusta.
.
.
.

Dungu karena menyederhanakan sebuah penghayatan keimanan orang lain. Dalam Islam misalnya, ada sebagian orang yang menghayati hadis Rasulullah SAW:

.
.

Dari Abu Sa‘id Al Khudri, ia berkata: Rasululah SAW bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ  فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalianpun akan masuk (mengikuti) ke dalamnya“. Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?” Lalu beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka“. (HR. Ahmad 2:50 dan Abu Daud no.4031)

.
.
.
Bagi saudara saya non muslim mungkin saja kaget, heran bahkan sebel dengan hadist tersebut. Tapi itulah ajaran agama, itulah keyakinan dan itulah penghayatan. Tidak boleh dan tidak bisa disandingkan apalagi dibandingkan.

.
.
.
Jika karena hadis itu ada umat muslim menghayati menggunakan topi Sinterklas bagian dari menyerupai sebuah kaum, lantas dia menolak memakai, tapi masih dipaksa, kemudian datang ormas Islam membela. Apanya yang salah? Atau, mau darimana kita urai dan menyselesaikan masalahnya? Perlu kecermatan dan kehati-hatian bicara soal keyakinan. Cukuplah kita manusia Indonesia diuji dalam kasus Al-Maidah 51.

.
.

Bagi yang tidak paham masalah, sebaiknya bertanya, bukan membully. Bagi yang paham masalah saja masih ada kemungkinan berbeda. Atau lebih baik diam, jangan masuk mazhab Nyinyirisme. Karena terkadang diamnya orang dungu itu lebih berguna daripada diamnya orang pintar.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 dinART (dinar's ART) ^_^